Guru selalu menjadi tokoh sentral dalam setiap pembicaraan tentang pendidikan. Dalam berbagai forum resmi, pidato kenegaraan, hingga dokumen kebijakan, guru kerap disebut sebagai ujung tombak pendidikan. Ungkapan ini menggambarkan betapa pentingnya peran guru dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun di balik istilah yang terdengar mulia itu, muncul pertanyaan mendasar yang jarang dibahas secara terbuka "apakah ujung tombak itu benar-benar dirawat oleh sistem yang menggunakannya?".
Hari ini, guru tidak lagi hanya mengajar. Mereka juga dituntut menjadi fasilitator pembelajaran, pendamping emosional peserta didik, pengelola administrasi, sekaligus agen perubahan sosial. Kurikulum terus berkembang, teknologi semakin kompleks, dan karakter peserta didik semakin beragam. Semua itu menuntut kompetensi tinggi dan kesiapan mental yang tidak sederhana.
Namun, tuntutan besar itu tidak selalu berjalan seiring dengan dukungan yang memadai. Sebagian guru masih menghadapi persoalan kesejahteraan, beban kerja administratif yang berat, serta keterbatasan ruang untuk berkembang. Kondisi ini sering kali tidak terlihat di permukaan, tetapi sangat dirasakan dalam keseharian.
Ketika guru menyampaikan kegelisahan, respons yang muncul kerap normatif. Guru diingatkan tentang pengabdian, dedikasi, dan nilai keikhlasan. Nilai-nilai ini tentu penting dan menjadi ruh profesi guru. Namun, nilai moral tidak seharusnya digunakan untuk menutup mata terhadap persoalan struktural.
Menjadi guru bukan berarti menanggalkan kebutuhan hidup sebagai manusia. Guru memiliki keluarga, tanggung jawab sosial, dan kebutuhan masa depan. Mengharapkan kualitas pendidikan tinggi tanpa memastikan kondisi pendidiknya layak sama saja dengan membangun rumah megah di atas fondasi rapuh.
Jika guru adalah ujung tombak pendidikan, maka sistem pendidikan, baik lembaga maupun pemerintahan adalah pemilik tombak tersebut. Tanggung jawab pemilik bukan hanya menggunakan, tetapi juga merawat. Perawatan itu bisa berupa kebijakan yang adil, pelatihan berkelanjutan, serta perlindungan terhadap kesejahteraan dan martabat profesi.
Visi besar seperti Generasi Emas Indonesia membutuhkan fondasi yang kokoh. Fondasi itu tidak hanya berupa kurikulum dan infrastruktur, tetapi juga guru yang kuat secara profesional dan manusiawi. Tanpa perawatan yang memadai, ujung tombak pendidikan akan kehilangan daya dorongnya.
Tulisan ini bukan bentuk tudingan, melainkan ajakan refleksi. Pendidikan yang sehat tumbuh dari keberanian untuk melihat realitas apa adanya. Mengakui bahwa guru membutuhkan dukungan bukan berarti melemahkan sistem, justru memperkuatnya.
Apakah kita sudah cukup serius merawat mereka yang kita sebut sebagai ujung tombak pendidikan?
Baca Juga :
Ketika Guru Diminta Ikhlas, Tapi Sistem Belum Sepenuhnya Adil
Generasi Emas Tidak Akan Lahir dari Guru yang Dibiarkan Berjuang Sendirian

Kurangnya perhatian kepada guru, gaji relawan mbg lebih besar dari guru
BalasHapus