Tahun 2003, seorang anak laki-laki bungsu kelas VII MTs menjalani hidupnya dengan ringan. Hari-harinya dipenuhi permainan dan kesenangan sesaat. Ia menikmati apa pun yang membuatnya bahagia tanpa memikirkan lingkungan, sekitar, atau masa depan. Baginya, dunia cukup sejauh apa yang menyenangkan hari itu juga.
Suatu sore, ayahnya memanggilnya ke ruang tamu. Ada ketenangan yang berbeda, seolah yang akan disampaikan bukan sekadar nasihat biasa.
Sang ayah menatapnya lembut, lalu berkata dengan suara tegas yang memantul jauh ke dalam hati:
“Belajarlah. Lebih baik manusia yang mau belajar daripada alam yang menghajar.”
Anak itu terdiam. Kalimatnya sederhana, namun ia belum mengerti sepenuhnya. Ia hanya tahu ayahnya ingin ia berhenti membuang waktu untuk bermain dan mulai memperhatikan hidupnya.
Beberapa tahun kemudian, menjelang tahun 2011, ayahnya jatuh sakit. Di sela-sela waktu yang semakin sedikit, sang anak bertanya sekali lagi:
“Ayah… apa maksud Ayah dulu berkata begitu?”
Ayahnya tersenyum pelan.
“Belajarlah sampai kapan pun. Kelak kamu akan tahu.”
Itulah pesan terakhir yang ia dengar sebelum ayahnya dipanggil oleh Allah SWT.
Waktu Bergerak, dan Dunia Berbicara
Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pendidik. Ia sering mengulang pesan ayahnya kepada murid-muridnya, meski maknanya masih terus ia gali perlahan.
Sementara ia tumbuh, dunia di sekitarnya ikut berbicara. Bukan lewat kata-kata, tetapi lewat peristiwa—satu per satu, semakin sering, semakin jelas.
Setiap bencana menyisakan cerita yang sama: manusia yang lalai, tidak belajar, merasa paling benar, dan mengejar keuntungan sesaat tanpa memikirkan sesama atau alam.
Ia mulai menyadari bahwa apa yang dulu ia dengar dari ayahnya bukan sekadar anjuran untuk rajin belajar di sekolah, melainkan ajakan untuk membuka mata terhadap kehidupan.
Ketika Tahun 2025 Menjadi Pengingat Besar
Puncaknya, pada tahun 2025, banjir besar melanda Sumatra. Rumah-rumah hanyut, keluarga kehilangan tempat tinggal, dan kerugian terjadi di mana-mana.
Ketika menyaksikan berita itu, ia merasa seolah mendengar suara ayahnya kembali, menggema dari masa lalu:
“Nak… lebih baik manusia yang mau belajar daripada alam yang menghajar.”
Dan ia tahu, itu bukan sekadar nasihat. Itu adalah peringatan yang berlaku untuk seluruh manusia.
Warisan Sebuah Kalimat
Kini, sebagai pendidik, ia tidak hanya mengulang nasihat itu kepada murid-muridnya, tetapi juga menanamkan maknanya:
Ia membawa pesan ayahnya ke setiap ruang kelas, setiap obrolan, setiap kesempatan:
“Belajarlah… sebelum alam yang menghajar.”
Semoga kisah ini menjadi penyemangat bagi siapa pun yang membacanya agar lebih peka, lebih peduli, dan lebih mau belajar, demi diri sendiri, demi orang lain, dan demi bumi yang terus kita tinggali.
0 comments: